Try and try again
Belajar Dari Hidup " Karna Hidup Adalah Guru Dari Segala Guru "
Monday, August 23, 2010
Friday, December 11, 2009
hanya sesaat
disaat semua ingin menoreh
melukiskan sebuah gambaran tak berbekas
memiliki makna tersembunyi
dalam dan pasti penuh arti
tak ada satu pun yang tau apa ini..
apakah hanya sebuah goresan atau hanya torehan tinta
tentu tidak...
semuanya ungkapan hati yang tak terungkap
gelap suram dan tenggelam
sebuah gambaran dan makna baru membuat hati menjadi lega
bebas tanpa beban berlari dan menari laksana camar bersiul dipagi hari
mengeluarkan celotehnya membangunkan semua dari tidurnya
Tuhan apa maksud dan arti semua ini...?
Tuhan terimakasih...
Tuhan LOVE U...
Sunday, October 25, 2009
ya Allah rindunya aku pada Mu
sekian lama aku hidup ada kah amal baik yang ku Perbuat untuk MU?
Saturday, August 15, 2009
Thursday, January 10, 2008
Rasa
Saat semua keinginan terabaikan
Saat itu pula kita merasa putus asa
Merasa mau menang sendiri
merasa tak ada yang mau mengerti
percayalah mungkin itu semua hanya sebuah ego
ego yang membuat kita bodoh
ego yang membaut kita sering mengabaikan apa yang ada
coba buka mata .,,..
coba lihat disekeliling kita
apakah ada orang lain yang lebih bahagia selain kita
sebenarnya kebahagian itu akan muncul dari dalam diri kita
kebahagian itu muncul sebagai warna
kebahagia itu terpacar sebagai sinar diri
menggambarkan mahkota hidup dan kehidupan
menggambarkan cara seseorang menghargai hidup dan kehidupannya
By : J
CC 04-03-2007 00:00
Rindu
rasa itu datang menghampiri
saat dia jauh dan beranjak
meninggalkan pesan tak berjejak
menambah gundah cemas dalam dada
apakah ia mungkin setia????
itu selimut rindu yang selalu menemani
mencoba ditentang ia semakin menantang
menambah ragu dan gelisah
hanya doa dan rasa percaya pengobat semuanya
menghilangkan pengat yang semakin menyengat
menyejukkan hati yang selalu menanti.....
by : J
Wednesday, January 09, 2008
ketika
Dibalik senyuman manis Mu
Ada sesuatu yang tersembunyi
Dibalik pikiran Mu
Ada resah yang menghantui
Dibalik hati kecil Mu
Ada gelisah yang tak kunjung redah
Semuanya datang saat semua berubah
Semuanya menjauh saat semua dekat
Goresan dihati yang membisu
Hanya meninggalkan bekas yang mendalam
Melekat bagai mawar dengan durinya
Menusuk membuat luka
Mewangi meninggalkan bahagia
Yang tersisa dihati kecil kini hanya kebencian
Kebencian yang tak kunjung redah
Ketenangan yang tak kunjung tiba
Apakah ini akhir dari semuanya ?
Tanpa satupun yang bisa diubah
Tanpa satu kata yang bisa menjawabnya
By: J
Tuesday, September 04, 2007
Dongeng dari seorang sahabat
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan,
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata,
"Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata,
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten.
Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata ber- cucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.
Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23. Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini.Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya?
Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit.Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
"Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan.
Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.
Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
--
Cinta
Cinta
Cinta
bukan sebuah layang-layang
Yang apabila putus mudah disambung kembali
Cinta
juga bukan burung
Yang dapat hinggap kemanapun dia suka
Cinta
juga bukan kumbang
Yang menghisap sari madu lalu pergi
Cinta
juga bukan budi
Yang menanamkan kebaikkan
Dan melahirkan ibah
Cinta
juga bukan materi
Yang bisa dihitung dengan uang
Tapi cinta sejati adalah cinta yang tulus
Tulus dari dalam hati
Tulus dari dalam diri
Cinta sejati datang hanya sekali
Dalam hidup
Dalam rasa
Dalam suka
Dan dalam duka
Cinta.......
Terasa indah saat bersama
Terasa rindu saat jauhBy : J
sobat
Sobat
Kau bagai awan dengan bumi
Yang selalu melindungi dari sengatan mentari
Sobat
Kau bagai sampan dengan sungai
Yang selalu melindungi saat goyah
Sobat
Kau bagai hujan dengan panas
Yang memberikan kesejukkan disaat gerah
Sobat
Kadang kau terlupakan
Kadang kau terabaikan
Disaat sebuah pelangi datang hanya sesaat
Sobat
Adalah dia yang bisa mengerti
Apa arti hidup
Apa arti kebersamaan
Apa arti memiliki
Sobat
kau selalu ada dalam hati
Selalu ada dalam diri
Takkan pernah mati
Hingga nanti
waktu
Waktu
Sampai kapan aku harus menunggu
Sampai kapan aku harus bersabar
Waktu
Sampai kapan aku harus berjalan sendiri
Melewati lorong gelap hanya dengan setitik cahaya
Waktu
Kau telah menyatukan dua hati yang berbeda
Hati yang sama-sama tanpa rasa sayang
Hati yang sama-sama ingin bersatu
Dan berusaha memberi sayang
Waktu
Jangan paksa satu hati tuk berikan sayangnya padaku
Jangan paksa setitik cahaya menjadi mentari
Waktu
Aku tak mungkin melawan takdir
Aku tak mungkin akan memutarmu kembali
Waktu
Sampaikan padanya jangan pernah hianati ketulusan
Jangan pernah berikan goresan pada hati yang penuh goresan
Waktu
Aku serahkan semuanya padamu
Rasa percaya adalah awal tuk bisa saling memiliki
Kejujuran adalah awal dari sebuah kebahagiaan By : JTugas Akhirku Memory Ku
Tugas Akhirku Memory Ku
Harapan sekarang hanya tinggal harapan, cinta sekarang hanya tinggal legenda, semua tersusun disebuah buku hasil usaha seorang anak tuk ibu dan ayahnya, dengan jeripayah ibu dan ayahnya tuk besarkan seorang anak hingga dia sukses menggapai mimpi, dengan tetesan air mata ibu dan ayahnya yang harus rela dicaci, dimaki, dihina, demi anak tercinta. buku itu didapat dari keringat seorang ayah yang harus rela banting tulang tak peduli sakit hujan panas siang malam itu juga tuk anak tercinta, anak itu kini hanya bisa berdo'a dan berusaha agar ibu dan ayahnya bisa bahagia, karna dia tau belum ada yang bisa diperbuat olehnya, anak itu kini juga belum bisa berdiri tegak karna saat ini sebelah kaki nya terluka tertusuk duri dari sebuah mawar yang disayanginya, mawar itu kini meninggalkan luka dikaki dan meninggalkan wangi dihati, anak itu kini tetap berusaha tuk selalu bisa bangkit walaupun hanya dengan satu kaki, dengan tertatih ia tetap berusaha berdiri, dan mencoba menyiram mawar yang sudah layu karnanya, ia tak mengerti mengapa mawar itu harus layu dan mati, tapi ia selalu ingat nasehat dari seorang tua yang pernah berkata padanya " jangan pernah katakan selamat tinggal pada mawarmu kalau kamu yakin suatu saat nanti mawar mu akan mekar kembali karnamu, jangan pernah jadi seorang yang cengeng, kamu harus selalu tegar dan bisa berdiri tegak menatap hari depanmu, itu semua hanya sebuah cobaan, dibalik kegagalan mu masih ada keberhasilan mu, dibalik keberhasilanmu pasti ada kegagalanmu, sesuatu yang kamu dapatkan dari usahamu itu akan abadi, begitu juga sebaliknya, jangan pernah merasa jadi pemenang kalau kamu berhasil mendapatkan sesuatu, akan tetapi yang harus kamu lakukan adalah selalu bersyukur pada-Nya karna Dia-lah kamu bisa jadi begini, dan kamu juga harus bisa mensyukuri semua pemberia-Nya". Kata itu menjadi ingatan buatnya, dengan kata-kata itu ia selalu berusaha dan terus berusaha,
Coretan demi coretan, goresan demi goresan disebuah kertas putih yang dikumpulkannya dari serpihan buku-buku guna mengisi indahnya sebuah hasil karya, siang malam hujan panas ia tempuh demi hasil yang diinginkan, tertawa sedih itu yang selalu ia lewati dengan teman seperjuangannya, tapi ia selalu tabah menghadapi semuanya, kerikil kecil dan batu besar yang menghalangnya selalu dihadapi dengan sebuah senyuman, senyum itu indah, kebersamaan itu anugrah, itu yang selalu ada dalam hatinya, keceriaan selalu terpancar menyembunyikan gelisah yang belum redah, dengan selalu ingat pada-Nya diselah kesibukanya ia berharap mendapatkan jalan tuk menyelesaikan masalahnya.
Menghadap seorang pembimbing tugas akhir yang ada hanya sebuah revisi dari apa yang telah dibuatnya, tetapi ia tetap menganalisa apa yang talah dilakukannya, hari demi hari bergulir, bulan demi bulan berlalu begitu saja, saat akhir yang mendebarkan ia semakin terjepit desalah tebing yang curam, akankah ia harus memanjat tebing itu? Atau... apakah ia harus terjun kebawah? itu gundah hati yang menghantui, dicelah itu ia terus berpikir dan merenung apakah aku harus terjun yang ada aku hanya menjadi bangkai yang akan mengeluarkan bau busuk yang menjadi santapan elang yang menatap tajam dan mebuat orang tuaku murung, akan tetapi ia selalu ingat nasehat seorang tua, akhirnya ia memanjat tebing itu dengan susah paya hingga mencapai puncak, jeripayahnya kini tidak sia-sia ternyata diatas puncak itu ada sebuah pena yang bisa dibawa tuk jadi senjata dalam menyelesaikan tugas akhirnya.
Kehilafan yang ada dalam tugas akhirnya menjadi sebuah pertanyaan disaat ia dihadapkan oleh dua orang penuntut yang menanyakan arti dari kehilafan itu, dengan sebuah senyuman ia menjawab semua pertanyaan. Sambil menatap didepan sebuah pintu mawar yang layu karnanya, ia menatap luka di kakinya seakan luka itu seperti mata elang yang menatap tajam buas ingin mencengkram, tatapan itu kini menjadi sebuah pertanyaan yang belum terjawab olehnya, karna mawar itu sudah mati. Pertanyaan itu kini tinggal dalam hatinya seakan terpatri dan bungkam.
Kini hasil karya terbesar itu menjadi sebuah buku yang berisikan Lembar persembahan untuk ibu dan ayahnya serta keluarga dan teman-temanya, didalamnya juga berisikan ucapan terimakasih buat ayah dan ibunya serta keluarga dan teman-temannya, ada juga sebuah gorsan pena dari teman dan pujaan hatinya yang menjadi suatu kenangan yang takkan terlupakan hinga nanti.
Pentoel_oon@yahoo.com ( ' J ' )